Idealisme Manusia



Ternyata menjadi mahasiswa bukanlah perkara yang mudah. Maksudnya Mpril? Awalnya gue pikir, masuk Universitas Padjadjaran dan menjadi mahasiswa di salah satu jurusan eksakta adalah awal yang indah. Dan ternyata tidak seperti itu. Gue ngerasa separuh dari hidup gue digadaikan didalamnya. Dimana gue dituntut untuk berkontribusi penuh dalam organisasi himpunan jurusan, bahkan gue pernah nyoba-nyoba masuk salah satu unit kegiatan mahasiswa biar ga di-cap ansos ataupun mahasiswa kupu-kupu alias kuliah-pulang. Banyak suka dukanya ternyata, dan mungkin nggak perlu gue bahas tentang depresi gue pada mata kuliah khas eksakta yang seperti benang kusut didalam otak gue. Dari semua yang gue alemin selama menjadi mahasiswa ini, gue mengenal dua kata feomenal yang sempat bikin gue bingung untuk membedakannya. Hingga akhirnya beberapa menit yang lalu gue menemukan suatu artikel yang mejelaskan tentang itu. Dimana Idealis itu berbeda dengan Egois. Ya, dari kata-nya pun berbeda.

Biar gue jelasin dulu sebelumnya tentang idealisme. Idealisme adalah sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang yang didasarkan pada pengalaman, pendidikan, kultur budaya atau kebiasaan. Sekilas pengertian ini tidak jauh berbeda dengan egois. Namun, ternyata keduanya sangat berbeda. Orang yang idealis selalu memiliki konsep dari setiap argumen yang di utarakannya dan mereka memiliki batasan dalam idealisme hidupnya. Sedangkan orang yang egois, mereka tidak memiliki konsep, dan mereka lebih mengutamakan keinginan pribadinya, kasarnya mereka selalu menyisipkan kata "pokoknya..." disetiap argumennya, jelas itu terlihat sangat memaksakan. Idealisme adalah sebuah perubahan, terlepas dari apakah perubahan itu positif atau negatif.

Idealisme tidak bisa berdiri sendiri. Sikap idealisme harus didukung oleh realisme. Realisme adalah sikap/pola pikir yang mengikuti arus dan mengesampingkan pandangan yang dianggap benar oleh dirinya sendiri. Idealisme tanpa realisme bagaikan mimpi di siang bolong, angan-angan yang utopis. Begitu pun sebaliknya realisme tanpa idealisme dapat berakhir dengan kebobrokan. Tidak mungkin seumur hidup kita hanya mengandalkan pemikiran orang lain atau pola pikir yang mengikuti arus tanpa memikirkan pola fikir idealis kita yang mungkin saja merupakan bibit-bibit kesuksesan, meskipun kadang tidak mudah untuh dilalui.

Berikut ini adalah contoh-contoh real mengenai idealis yang gue dapet dari artikel yang gue baca. Dan semua itu cukup membuat ensiklopedia dalam otak gue mendapatkan tambahan ilmu.

Sebagai contoh idealisme positif, ingat ketika Martin Luther menentang gereja Katolik Eropa? Banyak orang ketika itu mencemoohnya sebagai orang yang idealis dengan menafikkan kenyataan-kenyataan di lapangan dan keamanan hidupnya sendiri. Namun dengan kekuatan idealisme yang luar biasa akhirnya Martin Luther mampu melahirkan gerakan reformasi (pada masa itu) dan tetap bertahan hingga hari ini.
Untuk contoh buruknya, lihat idealisme yang dilakukan oleh Adolf Hitler. Dengan keyakinannya atas buruknya kaum Yahudi dan Komunisme, dia bisa menjadi penguasa Eropa dan membinasakan kaum Yahudi dan Komunis. Padahal ketika zamannya ketika itu, korporasi Yahudi dan dominasi politik komunis begitu kental dilingkungannya sehingga pada awal-awal perjuangannya Hitler justru lebih banyak mendapat hinaan dan cemooh ketimbang dukungan. Tentu saja contoh buruk ini jangan ditiru karena justru merupakan kemunduran dalam peradaban manusia.
Sebutlah semua pemimpin besar dunia: Mahatma Gandhi, Mother Teressa, Aung an su kyi, Che Guevara, Soekarno, Julius Caesar, Socrates dan masih banyak pemimpin besar dunia lainnya yang penuh dengan idealisme-idealismenya walaupun kadang hal itu menjadi faktor utama berakhirnya hidup mereka.
Socrates contohnya: dia bersikukuh bahwa pemerintahan demokrasi Athena pada kala itu adalah pemerintah yang busuk dan korup. Walaupun banyak kerabatnya dan murid-muridnya yang membujuknya agar tidak terlalu idealis dengan keyakinannya karena akan membahayakan nyawanya, dia tetap saja lantang menentang demokrasi Athena. Walhasil, senat Athena memerintahkannya menenggak racun sebagai bentuk hukuman mati atas penghinaannya kepada senat, dan matilah Socrates dalam memperjuangkan idealismenya.
Selanjutnya adalah Soekarno. Pada masa mudanya, Soekarno sudah terbiasa diperlihatkan pemandangan betapa anak negeri ini (kaum pribumi) diperbudak oleh penjajah Belanda. Lingkungannya pun (lingkungan terpelajar dan priyayi) sudah menganggap bahwa hal itu adalah biasa. Lalu ketika dia beranjak dewasa, dia menyadari bahwa ini semua salah dan dia mulai merawan arus “realistik” penjajahan, dan mulai mengkampanyekan idealisme kebebasan (kemerdekaan) bangsa Indonesia.
Seperti yang udah gue tulis di paragraf sebelumnya bahwa idealisme adalah suatu perubahan terlepas dari apakah itu perubahan postif atau negatif. Namun teori tak semudak praktis. Perlu keberanian untuk melakukan suatu perubahan di zaman yang penuh dengan orang-orang realistis yang memiliki tingkat idealis sangat lemah. Dengan kata lain perubahan adalah salah satu implementasi dari idealisme.

Dan satu lagi yang juga sempet gue bahas di paragraf sebelumnya dimana realisme tanpa idealisme dapat berakibat pada suatu kebobrokan. Hal ini diperjelas dengan kisah idealisme seorang Sukarno. Dimana pada awalnya dia bersikap realistis dengan mengikuti apa yang sedang terjadi saat itu, dimana penjajahan dan kekerasan sudah menjadi hal biasa bagi dirinya, hingga saat dewasa beliau mulai memunculkan sikap idealisme nya dengan menjunjung tinggi sebuah kebebasan, kemerdekaan untuk negara-nya. Dan itu butuh suatu keberanian, karena apa yang telah diperjuangkan oleh beliau adalah suatu gebrakan menuju perubahan, implementasi dari sebuah idealisme.

Eh ada yang kelupaan lagi deh. Hampir... hampir... Tentang adolf hitler nih yang menurut artikel menganut idealisme negatif saat membinasakan kaum yahudi pada masanya, gue mau angkat bicara nih. Emang sih ga bisa gue pungkiri kalau pembantaian yang dilakukan Hitler cukup keji. Tapi disini gue hanya sebagai penerima informasi bukan sebagai pelaku atau pun korban. Gue pernah baca tentang Hitler, dimana saat itu Hitler banyak dicemooh karena ke-otoriteran-nya, tapi disitu juga dia sempat berkata, bahwa dia tidak sepenuhnya membunuh para yahudi, dia menyisakannya beberapa agar seluruh bangsa di negeri ini akan mendapatkan jawabannya kelak, jawaban mengenai dasar pembantaian yang dilakukan olehnya. Mungkin bila saat itu gue ada di pihak yang mencemooh Hitler, dan di masa kini gue diberi kehidupan kedua tanpa melupakan kejadian di masa lalu, gue bakal ngerasa nyesel udah mencemooh dan mungkin gue berharap Hitler sama sekali nggak menyisakan satu pun yahudi. Itu gue, belum tentu dengan orang lain. Ini opini nakal gue. Dan kita semua pasti punya suara yang berbeda. :D

No comments: