Talking About Real Life? It's Mean Work Life

Happy holiday guys!!! Ya, I know it's late, but don't worry next week is a long long week end. :))

Ket: Gambar ini diambil dari mesin pencarian Google

Entah makhluk apa yang sudah membuat gue bangkit dari mati suri dalam dunia per-blog-an, setelah terakhir kali nge-posting tentang pemilu. Mungkin gara-gara pilihan gue nggak menangin pemilu makanya gue pundung dan berhenti nulis di blog. Nggak deng becanda. Gue mulai kehabisan ide karena sudah berada di dunia baru, sebut saja "dunia lain". Haha...

Pasti setiap orang pernah ngerasain yang namanya "stuck". Merasa kalau "gue nggak bakalan bisa lewatin ini", tapi pada kenyataannya lo bisa berada di titik yang sangat jauh dari setelah "stuck moment" lo berakhir. Agak belibet ya kalimat gue, anggap saja faktor umur. Intinya bagaimana pun keadaannya kita pasti bisa lewatin ini. Dan pasti ada jalan meskipun "dia" datang di detik-detik terakhir.

Gue bakal runut dari mulai SD, karena gue lupa masa TK gue kaya gimana. Ketika masih SD, mungkin ada sedikit rasa tertekan dengan pelajaran-pelajaran asing yang belum pernah gue temui sebelumnya, bahkan ketika masih di dalam kandungan. Tapi saat itu yang ada di pikiran gue hanya bagaimana menyelesaikan PR sebelum waktunya, belajar dengan tenang layaknya baca buku komik, kemudian berjuang untuk mengisi soal ujian akhir. Setiap ujian atau mengerjakan PR target gue adalah mendapatkan nilai diatas 8, ya minimal 8 deh. Entah kenapa saat itu gue nggak suka dengan angka 7. Ngedapetin nilai 7, gue ngerasa otak gue lebih kecil dari kepala gue. Gila kan? Tapi ini serius. Dan saat itu gue nggak ngerasain yang namanya les di tempat bimbingan belajar, atau ngikutin yang namanya les aritmatika, yang pada saat itu nge-hits banget di kalangan temen-temen gue. Entah kenapa gue paling seneng sama pola pikir gue saat itu, enteng!

SMP. Kayanya nggak ada yang menarik dengan masa SMP gue. Masih terkesan kutu buku. Selalu menjadi 3 besar, dan menurut gue itu merupakan pencapaian yang sudah cukup, nggak perlu ditambah apa-apa lagi. Yang paling gue inget adalah masa puber gue menghancurkan segalanya. Agak lebay sih. Tapi kenyataanya gue dapetin ranking 5 ketika gue mulai ngerasain yang namanya jatuh cinta. Bokap gue sempet kecewa saat itu. Tapi untungnya dia nggak jatuh pingsan karena menginjak bangku SMK, gue nggak mengenal lagi apa itu ranking.

Masa SMK gue, oh bukan itu lebih mirip dengan masa bermain bukan masa sekolah sebagai anak putih abu menurut gue. Gue sama sekali nggak mentingin lagi yang namanya ngejar ranking, yang penting gue udah belajar semampu gue, lulus ujian, ngerjain PR tepat waktu dengan mengenyampingkan ketepatan dari jawabannya. So dark! Setiap minggu nya gue pasti nyempetin buat main. Ikutan kuis di beberapa radio terkenal, terutama di kalangan anak SMA. Tapi ada yang gue kagumin dari diri gue sendiri saat itu. Gue memang tidak begitu memperdulikan ranking, tapi prinsip gue saat itu adalah "pacaran harus di luar jam sekolah". Saat itu gue sekolah dari senin-sabtu. Itu artinya gue cuma boleh pacaran di hari minggu. Nggak ada toleransi sama sekali. Saat itu gue lebih rela nilai gue turun karena keseringan main dari pada gara-gara keseringan pacaran. Hahaha... Gue sempet ngerasa berat dan terbebani dengan berbagai macam pelajaran, terlebih lagi Fisika. Dari jaman SMP gue nggak pernah bersahabat dengan pelajaran satu ini. Gue takut ngadepin ujian nasional untuk lulus SMA. Gue takut nggak keterima di perguruan tinggi negeri hanya dengan berbekal 4 bulan ikutan bimbingan belajar. Semua yang gue lalui saat itu penuh dengan rasa takut. Tapi semua itu terlewati juga. Kita hanya perlu berbaur dengan proses untuk mencapai hasil. Kadang gue harus berjuang, dan terkadang juga harus pasrah. Seperti menghempaskan diri ke dalam sistem kehidupan, dan membiarkannya membawa gue ke pencapaian yang hanya ada dua pilihan, berhasil atau gagal. Gue hanya harus menerimanya.

Masa kuliah. Terasa lebih berat lagi. Tapi semangat gue untuk meningkatkan nilai lebih tinggi dibandingkan waktu SMK. Itulah kenapa semuanya terasa lebih berat. Karena gue harus memikirkan bagaiman mendapatkan IPK yang memuaskan, minimal diatas 3,00. Gue juga berorganisasi dan ikut beberapa kepanitiaan. Tapi gue cukup egois saat itu. Gue hanya mengikuti apa yang gue mau. Kadang terkesan meninggalkan apa yang wajib demi memenuhi apa yang gue mau. Gue hanya kepengen dihargain dan mendapatkan banyak kenalan baru. Kadang gue bolos demi itu, tergantung mana yang lebih menarik menurut gue. Nyusun skripsi adalah yang paling bikin stress. Tapi pada akhirnya bisa dilewati juga. Lagi-lagi gue hanya meghempaskan diri ke dalam sistem kehidupan. Bukan berarti gue nggak berusaha, hanya saja gue ngerasa keseringan berpasrah.

Sekarang gue bukanlah pelajar. Gue sudah masuk ke dunia yang sebenarnya. Dunia kerja. Banyak sekali hal yang lalu lalang didalam pikiran gue saat ini. Ospek sama sekali tidak mempengaruhi kedekatan atau rasa memiliki satu sama lain. Kita bisa punya banyak temen, tapi nggak gampang buat dapetin sahabat. Semua kembali lagi ke sifat masing-masing orang, dan bagaimana cara mereka bergaul. Berdiri sepanjang hari ketika praktikum di Lab, nggak ada gunanya sama sekali. Ketika bekerja di dalam Lab kebanyakan dari mereka duduk. Tempat kerja mana yang melarang duduk ketika sedang bekerja di dalam Lab. Sepertinya tidak ada. Mungkin ketika kita bekerja di lapangan kita harus banyak berdiri. Oh bukan berdiri tapi sesekali berjalan kaki, sepertinya itu lebih menyehatkan dari hanya sekedar berdiri. Bukan berapa banyak mata kuliah yang kamu ambil setiap semesternya, tapi apa keputusan yang telah diambil ketika diharuskan mengisi kartu rencana study. Secara tidak sadar kita belajar untuk menjadi ahli membuat keputusan. Dari pelajaran yang kita dapatkan dari sejak SD, kira-kira berapa persen yang saat ini masih tertinggal didalam memori otak? Tidak banyak, karena setiap hari adalah pelajaran baru. Mungkin ada beberapa yang hilang, dan digantikan dengan yang baru.Gue nggak bermaksud menganggap semua yang kita dapatkan selama sekolah tidak berguna. Tapi nggak ada yang bisa mengontrol agar semuanya tetap berada didalam ingatan. 

Di dunia kerja rasa tanggung jawab yang dulu pernah terbentuk semakin terasa nyata. Apa karena dibayar? Mungkin iya. Bisa juga karena tanggung jawab pada diri sendiri untuk bisa hidup mandiri. Bukan lagi merasa bertanggung jawab kepada orang tua karena sudah membiayai sekolah hingga kuliah. Tapi tanggung jawab pada diri sendiri. Entah kenapa semuanya terasa lebih lepas, bebas, dan ikhlas. Dimana tanggung jawab tidak lagi dikorelasikan dengan beban.

-SEKIAN-